Kepada Ibu
Tentang Asal, Sebab, dan Cinta yang Tidak Selesai
Aku rindu roti buatan ibuku,
hangat kopi buatannya,
dan belaian lembut tangannya.
Masa kecil mekar dalam diriku
hari demi hari.
Dan kucintai penuh hidup ini, karena jika aku mati, aku malu pada air mata ibuku.
— Mahmoud Darwish (1941–2008)
Dalam setiap kata, Darwish tidak sekadar menulis rindu, ia menyusun kalimat seperti seorang ahli nahwu menyusun makna. Subjeknya adalah cinta, fi‘il-nya adalah rindu, dan objeknya adalah ibu semua beraturan dalam satu hukum yang paling purba: kasih sebagai tata bahasa pertama manusia.
Setiap “dan” di puisinya seperti athaf yang tak ingin memutus makna, setiap jeda seperti sukun yang menyembunyikan tangis yang tak diucapkan. Ia tahu, tidak semua rasa perlu dibunyikan; sebagian cukup diatur dengan diam yang terstruktur.
Hukum Pertama: Setiap Rindu Menunjuk ke Asal
Dalam mantiq, setiap akibat punya sebab. Dan dalam puisi ini, setiap rindu punya arah menuju asal mula keberadaan. Roti bukan sekadar makanan, tapi tanda kehidupan. Kopi bukan sekadar aroma, tapi tanda kebersamaan. Sentuhan bukan sekadar lembutnya kulit, tapi tanda bahwa seseorang pernah ada untuk kita.
Maka rindu bukan nostalgia, tapi gerak akal menuju sumber kasih yang melahirkan makna diri. Setiap kali ia menyebut ibunya, ia tidak hanya mengenang, tapi kembali menyusun logika keberadaannya sendiri.
Hukum Kedua: Waktu Tidak Selalu Bergerak ke Depan
Masa kecil mekar dalam diriku hari demi hari.
Dalam logika waktu biasa, masa kecil adalah sesuatu yang sudah lewat. Namun di sini, Darwish membalik arah sebab-akibatnya. Yang tumbuh bukan umur, tapi masa kecil itu sendiri di dalam dirinya. Ia tidak semakin jauh dari asal, melainkan semakin dalam ke arah makna.
Inilah keindahan yang hanya bisa dipahami oleh hati yang mengenal nahwu jiwa: bahwa ada kalimat yang tidak bergerak ke depan, tetapi kembali ke mubtadaʼ-nya ke awal yang memberi arti.
Hukum Ketiga: Cinta yang Melampaui Diri
Aku mencintai hidupku, karena jika aku mati, aku malu pada air mata ibuku.
Inilah bentuk cinta paling logis sekaligus paling dalam: ia mencintai hidup bukan karena takut mati, tetapi karena tak ingin membuat seseorang menangis.
Secara mantiq, cinta ini tidak berpangkal pada ego, tapi pada al-ghair pada yang lain. Hidup di sini bukan milik diri, tapi amanah dari kasih. Dan setiap napas menjadi bentuk kesetiaan yang senyap.
Penutup: Ibu, Kalimat yang Tak Pernah Selesai
Darwish menutup puisinya dengan kata “ibuku” tanpa titik. Karena cinta seorang ibu tidak mengenal tanda berhenti. Ia adalah jumlah ismiyyah yang tak pernah selesai dibaca: subjeknya hidup, predikatnya mengalir, dan maknanya selalu kembali ke awal.
Jika dunia adalah kalimat panjang, maka “ibu” adalah kata yang menjaganya tetap bermakna.