Perang Sanekala
Transisi Total Peradaban Manusia
Perang Sanekala bukanlah perang dalam pengertian konvensional. Ia tidak diukur dengan jumlah korban atau luas wilayah yang direbut, melainkan dengan berapa banyak struktur lama yang runtuh dan berapa cepat struktur baru memaksa manusia untuk menyesuaikan diri.
Yang sedang terjadi saat ini adalah transisi peradaban secara simultan dan multidimensi. Hampir seluruh fondasi kehidupan manusia, budaya, teknologi, ekonomi, politik, bahkan cara berpikir mengalami perubahan bersamaan. Inilah yang membuatnya terasa seperti perang: bukan karena dentuman senjata, tetapi karena benturan sistem nilai dan arah hidup.
Sanekala sebagai Kondisi, Bukan Periode Biasa
Sanekala adalah keadaan antara. Ia bukan masa lalu, tetapi juga belum menjadi masa depan. Dalam keadaan ini, manusia hidup dengan aturan lama yang tidak lagi efektif, sambil dipaksa memahami aturan baru yang belum sepenuhnya jelas. Ketidakpastian bukan anomali, melainkan ciri utama.
Transisi yang Terjadi Secara Serentak
Budaya bergerak dari keterikatan komunal menuju identitas individual yang cair. Nilai lokal dipaksa bernegosiasi dengan nilai global. Spiritualitas kehilangan posisi sentral, sementara materialisme dan efisiensi menjadi ukuran keberhasilan.
Teknologi berubah dari alat bantu menjadi pengendali sistem. Manusia tidak lagi hanya menggunakan teknologi, tetapi hidup di dalamnya. Otomatisasi dan kecerdasan buatan mulai menggantikan peran manusia bukan hanya secara fisik, tetapi juga kognitif.
Kehidupan sosial bergeser dari ruang nyata ke ruang digital. Kerja tidak lagi ditentukan oleh tenaga, tetapi oleh pengetahuan dan kreativitas. Keberadaan manusia semakin dinilai dari visibilitas, bukan substansi.
Transisi ini tidak memberi waktu untuk adaptasi bertahap. Semuanya terjadi bersamaan.
Mengapa Ini Layak Disebut “Perang”?
Karena selalu ada pihak yang kehilangan posisi dan pihak yang merebut ruang baru.
• Sistem lama berusaha bertahan, sistem baru menuntut legitimasi.
• Generasi lama berpegang pada stabilitas, generasi baru mendorong kecepatan.
• Kekuasaan berbasis sumber daya berhadapan dengan kekuasaan berbasis data.
• Ideologi lama kehilangan relevansi, sementara ideologi baru belum solid.
• Konflik ini tidak selalu tampak keras, tetapi terus berlangsung dalam kebijakan publik, pasar kerja, pendidikan, dan bahkan relasi sosial sehari-hari.
Titik Kulminasi Zaman Ini
Sekitar tahun 2025, berbagai krisis bertemu di satu simpul:
Revolusi AI memasuki fase masif dan tidak bisa ditarik kembali.
Krisis iklim memaksa perubahan cara hidup global.
Tatanan geopolitik lama kehilangan dominasi.
Ekonomi digital dan ekonomi nyata saling menggerus.
Ketegangan antargenerasi semakin terbuka dan struktural.
Ini bukan sekadar perubahan zaman, tetapi pergeseran logika peradaban.
Inti Masalahnya
Masalah utama Perang Sanekala bukan teknologi, bukan politik, dan bukan ekonomi.
Masalah utamanya adalah kecepatan perubahan yang melampaui kesiapan kesadaran manusia.
Manusia dipaksa beradaptasi lebih cepat daripada ia sempat memahami makna dari perubahan itu sendiri.
Penutup
Perang Sanekala adalah proses kelahiran. Dan seperti semua kelahiran, ia menyakitkan, membingungkan, dan tidak bisa dihentikan.
Pertanyaannya bukan apakah peradaban baru akan lahir, melainkan apakah manusia masih memiliki kendali nilai ketika peradaban itu terbentuk.
Kita tidak sedang menunggu masa depan.
Kita sedang ikut menyusunnya, sadar atau tidak.