Paradoks Near Miss
Refleksi Kritis atas Reduksi K3 Menjadi Sekadar Administrasi Kepatuhan
“Keselamatan bukanlah hasil dari inspeksi dan audit yang sempurna, melainkan cerminan kejujuran seseorang terhadap kebiasaan kerjanya sendiri.”
1. Konteks Paradoksal: Antara Kuantifikasi dan Kesadaran
Dalam sebagian besar sistem manajemen K3 modern, setiap petugas HSE ditargetkan untuk mengidentifikasi sedikitnya lima bahkan lebih temuan entah itu per hari, minggu atau bulan. Secara konseptual, kebijakan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan sensitivitas terhadap bahaya potensial. Namun, apabila prinsip “temuan = near miss” diterjemahkan secara kuantitatif, maka secara epistemik kita tengah menghadapi inflasi statistik keselamatan, di mana realitas bahaya di lapangan jauh melampaui angka yang terekam secara administratif.
Masalah utama tidak terletak pada volume temuan, melainkan pada substansi semantik dari setiap temuan tersebut apakah ia sekadar data, atau betul-betul representasi dari kesadaran risiko.
2. Dekadensi Praktik: Ketika ‘Temuan’ Menjadi Seremonial
Fenomena yang paling jamak ialah ritualisasi keselamatan. Petugas HSE sering kali melaporkan temuan bukan karena urgensi pencegahan, melainkan karena kewajiban formal. Aktivitas K3 berubah menjadi sekadar ritus administratif menjelang audit:
• Safety meeting mendadak intensif satu minggu sebelum inspeksi,
• tanda peringatan dicat ulang,
• APD dikenakan bukan atas dasar kesadaran, melainkan karena “akan ada tamu.”
Setelah audit usai, sistem kembali ke homeostasis semula. Inilah yang disebut “Safety by Event, not Safety by Behavior” keselamatan yang bersifat situasional, bukan kultural.
3. Kesalahan Paradigmatik: Fokus pada Angka, Bukan Perilaku
Paradigma K3 kontemporer seharusnya menitikberatkan pada Behavior-Based Safety (BBS), di mana perilaku menjadi determinan utama keselamatan, bukan sekadar hasil audit dokumen. Sayangnya, banyak organisasi dan bahkan perusahaan masih terjebak dalam logika numerik yang reduksionistik.
BBS menegaskan bahwa keselamatan tidak dapat dipaksakan melalui regulasi, melainkan diinternalisasi melalui kesadaran moral dan profesional.
4. Rumus Near Miss sebagai Cermin Budaya Keselamatan
Dalam konteks area engineering misalnya instalasi pengolahan air dengan kedalaman bak mencapai 5 meter near miss dapat muncul dalam frekuensi sangat tinggi:
• sepatu basah di dekat panel listrik,
• tangga tanpa penjaga bawah,
• pekerja melepas helm saat istirahat,
• alat tidak dikembalikan ke tempat semula.
Setiap peristiwa minor tersebut merupakan prolog potensial menuju insiden mayor.
Secara konseptual, hierarki kecelakaan dapat dinyatakan sebagai: 1 Kecelakaan = 30 Near Miss + 300 Unsafe Act + 1000 Unsafe Condition.
Artinya, ketika organisasi hanya berorientasi pada “nol kecelakaan” tanpa membangun awareness terhadap near miss, maka ia sedang menanam benih statistik menuju insiden berikutnya.
5. Dialektika Keselamatan: Dari Eksternalitas Menuju Kesadaran Diri
Esensi keselamatan kerja bukanlah kepatuhan mekanistik terhadap aturan, melainkan kesadaran reflektif terhadap makna keberlangsungan hidup.
Konsep Internal Safety Awareness menjadi inti dari BBS:
• Observe — Mengamati perilaku tanpa prasangka.
• Coach — Mengarahkan dengan empati, bukan represifitas.
• Reinforce — Mengapresiasi perilaku aman agar bertransformasi menjadi norma kolektif.
Ketika pekerja merasa dihargai atas perilaku aman, bukan dimarahi atau dijadikan highlight bukti temuan atas kesalahan, maka keselamatan berubah dari beban struktural menjadi etos kerja intrinsik.
6. Reposisi Peran HSE: Dari Regulator Menuju Fasilitator
Tugas HSE sejati bukan sekadar menemukan “kesalahan,” melainkan menemukan peluang perubahan perilaku. Ia adalah mediator antara sistem dan manusia:
• dari aturan menuju kesadaran,
• dari instruksi menuju pembiasaan,
• dari kontrol menuju kepedulian.
Dalam paradigma demikian, APD dan prosedur kerja bukan lagi simbol kepatuhan, melainkan ekspresi kesadaran profesional.
7. Epilog: Keselamatan sebagai Kesadaran Eksistensial
Near miss bukanlah indikator kegagalan sistem, melainkan sinaps kesadaran yang mengingatkan kita akan batas antara profesionalisme dan kelengahan. Namun, terlalu sering alarm itu diredam demi “citra zero accident” dalam laporan korporat.
Padahal, keselamatan sejati tidak terletak pada nihilnya kecelakaan, tetapi pada penuhnya kesadaran.
“Keselamatan kerja bukan tentang menghindari bahaya, melainkan tentang menyadari kehidupan.
Ingat! Ada orang yang menunggu kita pulang kerumah dengan selamat.” — Bias Fajar Khaliq