Yang Fana Adalah Waktu
Sapardi Djoko Damono (1978)
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi. — Sapardi Djoko Damono
Puisi ini tidak panjang, tapi diam-diam berbicara sangat dalam. Tentang manusia yang sibuk menata hidup, mengumpulkan hari, dan menjejalkan makna ke dalam waktu yang terus berjalan. Sampai akhirnya lupa: untuk apa semua itu dilakukan.
Sapardi menulis seolah sedang berbicara pada seseorang — mungkin pada kita, mungkin pada dirinya sendiri. Ia mengingatkan, bahwa yang berlalu hanyalah waktu, bukan makna. Yang pergi hanyalah detik, bukan rasa yang hidup di dalamnya.
Kita sering berpikir waktu mencuri segalanya. Padahal tidak. Ia hanya memindahkan sesuatu dari nyata ke kenangan, dari bentuk ke makna, dari tubuh ke ingatan. Dan di situlah letak keabadian itu: bukan di lama hidupnya, tapi di jejak yang ditinggalkannya.
Kita abadi bukan karena tak mati, tetapi karena pernah berarti bagi seseorang, bagi dunia kecil yang pernah kita sentuh.
Karena waktu memang fana, tapi cinta, kenangan, dan makna selalu punya cara untuk bertahan.